Berada dalam pilihan yang sulit tentu bukan keadaan yang nyaman bagi sebagian orang. Terlebih ketika kita (terpaksa) harus mengambil sebuah keputusan. Hasilnya bisa jadi tepat, atau justru menjadi sebuah kesalahan yang akan disesali kemudian. Itulah hidup, yang katanya tak selamanya berjalan mulus.
Minggu ini saya bertemu dengan
seorang teman lama, sudah beberapa bulan dia menganggur, terhitung sejak
sekitar November 2013. Awalnya dia bekerja sebagai Chef di salah satu restoran
Korea di Jakarta, namun karena profesionalitas serta jam kerja yang tidak
manusiawi, akhirnya sobat saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya.
Keputusan yang hingga kini ia sesali. Mengapa? Menurutnya ketika dia
mengambil keputusan untuk resign, dia tidak
memiliki rencana cadangan ataupun persiapan untuk menyambung hidup. Keputusan
ini murni diambil karena dorongan rasa kekesalan di hati.
Berbulan-bulan teman saya mencari
pekerjaan dengan posisi dan salary yang (diharapkan) bisa lebih dari tempat
bekerja sebelumnya. Namun hasilnya nihil. Hingga datang sebuah panggilan
bekerja di sebuah cafe & bar di kawasan Sudirman.
“Menurut kamu, aku ambil
pekerjaan ini atau nggak?” sebuah pesan singkat masuk ke handphone saya.
“Ambil ajalah, dari pada kamu
diem dan nggak melakukan sesuatu. Dicoba jalanin aja dulu, sembari cari yang
lebih baik lagi.” Jawabku singkat.
Namun pertemuan di akhir pekan
lalu nampak sedikit aneh, teman saya tidak terlihat excited mendapatkan
pekerjaan baru ini. Raut mukanya seolah menyimpan ganjalan di hati yang
membuatnya ragu untuk mengambil keputusan. Obrolan malam itu berlanjut, teman
saya mulai menuturkan cerita bahwa sebenarnya dia mengalami perang batin!
Tempat bekerja saat ini menawarkan minuman yang dalam agama Islam diharamkan.
Sebuah pilihan yang sulit untuknya. Dalam keyakinannya, orang yang menjual,
menawarkan, membeli ataupun terlibat di dalam kegiatannya pasti berdosa.
Namun, untuk bertahan hidup di
Jakarta tentunya membutuhkan makan bukan? Selain makan, teman saya ini pun
membutuhkan biaya untuk membayar kost, listrik, mengirim uang ke desa untuk
keluarga dan biaya lainnya.
“Kalau mau mikirin dosa, semua
kerjaan di dunia ini juga pasti ada dosanya. Emang loe pikir kerja di bidang
marketing itu nggak dosa apa? Tiap hari ngibulin orang?” Ungkap seorang teman
memberikan pandangannya.
Saya tidak ingin menghakimi
pilihan hidup seseorang. Namun keadaan dilematis ini pasti dan pernah kita
alami bukan? Berada di persimpangan jalan, antara hati nurani atau melihat
tuntutan realita. Benar atau salah? Kadang hati nuranilah yang mampu
menjawabnya. Jauh di lubuk hati kita yang terdalam, kita tahu persis keputusan
yang kita ambil di persimpangan jalan ini. Tidak ada manusia yang nyaris
sempurna. Saat keadaan dilematis ini muncul, yang benar-benar kita butuhkan
adalah dukungan dari orang terdekat untuk menguatkan diri, untuk (tetap) menerima
kita apa adanya meskipun kita (mungkin) mengambil keputusan yang salah.